membaca buku

Buku sebagai Jendela Imajinasi

Bagi kita, para pencinta buku, membaca bagaikan jendela imajinasi. Melalui buku, kita memasuki semesta yang berbeda. Kita bisa merasakan kepahitan dan manisnya hidup karakter utama cerita. Kita bisa berempati padanya. Melihat dunia dari pemahamannya, yang juga adalah pemahaman sang penulis. Melalui buku, melalui cerita yang menyentuh hati, kita merayakan hidup.

Inilah sebelas Cerita Asyiknya Membaca para pencinta buku dari 930 kisah yang dikirimkan ke Harian Kompas.

Lia, karyawanGen Y, Jakarta.
Read More
Membaca buku itu membangkitkan imajinasi, membuat pikiran kita berkelana ke berbagai lokasi, nyata maupun imajinatif. Bagi saya sendiri, membaca bisa membuat lupa akan banyak hal. Lupa makan, beristirahat, bahkan keadaan sekeliling!

Saya pernah dibuat penasaran dengan salah satu novel fiksi. Saya waktu itu memutuskan untuk lanjut baca di angkutan umum menuju rumah. Saya begitu asyik membaca sampai tiba-tiba terdengar suara kondektur berbicara, "Neng, abis, Neng."

Awalnya saya sempat bingung maksud beliau, sampai akhirnya saya melihat sekeliling. Saya satu-satunya penumpang yang tersisa dan terbawa jauh sampai ke tujuan akhir trayek!

Sedih sich. Tapi saya tidak kapok.
Dania Puspitasari, pengelola taman bacaGen Y, Jawa Timur
Read More
"Umaya, ayo bacain buku."

Kata-kata itu sering saya dengar sebelum tidur. Alhamdulillah, membaca buku sebelum tidur sudah jadi rutinitas kami setelah sholat Isya dan gosok gigi.

Anak kami Hannah yang berusia 4 tahun sudah mencontoh Masnya yang beranjak remaja. Mereka sering mojok sambil pegang buku. Kadang di siang hari Hannah berceloteh tentang cerita yang pernah dibacakan. Anak yang ingat, yang membacakan buku malah lupa.

Kami juga membacakan buku ke anak-anak sekitar rumah. Suatu ketika bacaannya tentang Nabi Ayub. Di lain waktu, anak-anak menagih untuk dibacakan tentang belalang emas. Saya saja lupa, sampai bertanya, "Cerita yang mana?" Ternyata, cerita pertolongan Allah kepada nabi lewat belalang emas.

Se-magic itu manfaat membacakan buku. Kontennya terekam ke benak anak. Semoga lewat membacakan buku, semua itu bisa menjadi pondasi yang baik untuk mereka. Aamin.
Previous
Next
Lia, karyawanGen Y, Jakarta.
Read More
Membaca buku itu membangkitkan imajinasi, membuat pikiran kita berkelana ke berbagai lokasi, nyata maupun imajinatif. Bagi saya sendiri, membaca bisa membuat lupa akan banyak hal. Lupa makan, beristirahat, bahkan keadaan sekeliling!

Saya pernah dibuat penasaran dengan salah satu novel fiksi. Saya waktu itu memutuskan untuk lanjut baca di angkutan umum menuju rumah. Saya begitu asyik membaca sampai tiba-tiba terdengar suara kondektur berbicara, "Neng, abis, Neng."

Awalnya saya sempat bingung maksud beliau, sampai akhirnya saya melihat sekeliling. Saya satu-satunya penumpang yang tersisa dan terbawa jauh sampai ke tujuan akhir trayek!

Sedih sich. Tapi saya tidak kapok.











Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Previous
Next
Dania Puspitasari, pengelola taman bacaGen Y, Jawa Timur
Read More
"Umaya, ayo bacain buku."

Kata-kata itu sering saya dengar sebelum tidur. Alhamdulillah, membaca buku sebelum tidur sudah jadi rutinitas kami setelah sholat Isya dan gosok gigi.

Anak kami Hannah yang berusia 4 tahun sudah mencontoh Masnya yang beranjak remaja. Mereka sering mojok sambil pegang buku. Kadang di siang hari Hannah berceloteh tentang cerita yang pernah dibacakan. Anak yang ingat, yang membacakan buku malah lupa.

Kami juga membacakan buku ke anak-anak sekitar rumah. Suatu ketika bacaannya tentang Nabi Ayub. Di lain waktu, anak-anak menagih untuk dibacakan tentang belalang emas. Saya saja lupa, sampai bertanya, "Cerita yang mana?" Ternyata, cerita pertolongan Allah kepada nabi lewat belalang emas.

Se-magic itu manfaat membacakan buku. Kontennya terekam ke benak anak. Semoga lewat membacakan buku, semua itu bisa menjadi pondasi yang baik untuk mereka. Aamin.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Previous
Next
Ryanda Bisyahrin, petugas lapanganGen Z, Makassar.
Read More
Sejak duduk di sekolah menengah pertama, selain majalah dan buku masak, Ibu saya gemar sekali mengoleksi koran. Koran menjadi salah satu bacaan favorit keluarga kami. Bahkan, saya pernah dapat pacar dari sana.

Menurut saya, dunia baca membawa pengaruh baik karena selain bisa saling terkoneksi dengan orang lain, saya juga menjadi lebih imajinatif.

Namun, pengalaman seru saya sewaktu baca buku sebenarnya dimulai pada 2018. Tepatnya setelah saya lulus sekolah menengah atas. Saat itu quote atau kutipan kata-kata indah sering dipakai kaum muda-mudi yang lagi jatuh cinta.

Buku koleksi pertama berjudul 5 cm oleh Donny Dhirgantoro. Selain membuat saya tambah romantis, peralatan pendakian juga tiba-tiba menumpuk di teras rumah. Padahal jauh hari sebelum itu semua, tidak ada minat sedikit pun mengenal alam. Tapi, sangat berbeda setelah menamatkan buku itu. Sesekali, saya juga mendirikan kemah di depan tv dan melupakan kamar tidur.

Ada juga salah satu buku favorit yang dibeli saat saya masih bekerja di Instansi Pendidikan. Judulnya Sang Alkemis oleh Paulo Coelho. Sungguh memberikan perubahan besar terhadap hidup saya, terutama tentang bagaimana bermimpi atau bercita-cita. Satu lagi, karena keberadaan buku ini, saya tidak sengaja terjun di dunia menulis. Bahkan, saya berhasil memenangkan beberapa lomba menulis fiksi.

Dari kedua buku itu, saya sekarang punya perpustakaan mini di rumah. Saya bisa membaca kapan saja sesuka hati, dan menulis apa pun setiap saat.

Kesimpulannya, kegiatan membaca memberi dampak istimewa kepada hidup saya. Banyak hal, yang orang-orang sebut sebagai plot twist, sering terjadi.
Fransiskus Posenti, pensiunan ASNBaby Boomer, NTT.
Read More
Membaca koran yang ditempel di dinding rumah papan itu, tanpa saya duga kemudian hari, menjadi sebuah memori yang istimewa. Setidaknya, ada dua hal yang tak terlupakan. Pertama, saya membaca dengan posisi setengah memanjat. Ayah saya, yang notabene seorang guru sekolah dasar, menempel lembaran sebuah surat kabar mingguan bernama DIAN di dinding kamar tamu. Entah untuk alasan apa, koran itu sengaja ditempel di dinding kurang lebih satu meter dari permukaan meja. Didorong rasa ingin tahu yang besar, saya memanjat menggunakan kursi kayu untuk membaca tulisan itu.

Saat itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, paruh pertama tahun tujuh puluhan. Belum lancar sekali membaca, tetapi hampir setiap hari saya lakukan ritual itu. Pernah kepergok ayah, lalu saya ditegur. Terutama karena saya memanjat. Yang saya paling ingat, judul tulisan dengan huruf kapital yang jelas didampingi gambar yang waktu itu sangat menarik perhatian saya. Alasan kedua, dan yang membuat saya terpikat adalah karena tulisan itu ternyata dibukukan bertahun-tahun kemudian. Judulnya, tanpa saya sadari, seolah menyimpan kenangan masa kecil yang penuh petualangan: I REMEMBER FLORES.

Sebuah memoar yang mengharukan dari seorang Kapten Angkatan Laut Jepang, TASUKU SATO, ketika bertugas di Flores, sebelum kemerdekaan. Dan buku itu, yang sekarang menjadi salah satu koleksi perpustakaan pribadiku, menjadi salah satu tonggak awal kecintaan saya pada ritual membaca buku, terutama buku biografi. Lewat buku I REMEMBER FLORES, saya tidak hanya bisa mengenang tanah kelahiran setiap saat, tetapi juga mengagumi sosok pahlawan inspiratif. Seorang Ayah, yang menjadi guru dan teladanku.
Previous
Next
Ryanda Bisyahrin, petugas lapanganGen Z, Makassar.
Read More
Sejak duduk di sekolah menengah pertama, selain majalah dan buku masak, Ibu saya gemar sekali mengoleksi koran. Koran menjadi salah satu bacaan favorit keluarga kami. Bahkan, saya pernah dapat pacar dari sana.

Menurut saya, dunia baca membawa pengaruh baik karena selain bisa saling terkoneksi dengan orang lain, saya juga menjadi lebih imajinatif.

Namun, pengalaman seru saya sewaktu baca buku sebenarnya dimulai pada 2018. Tepatnya setelah saya lulus sekolah menengah atas. Saat itu quote atau kutipan kata-kata indah sering dipakai kaum muda-mudi yang lagi jatuh cinta.

Buku koleksi pertama berjudul 5 cm oleh Donny Dhirgantoro. Selain membuat saya tambah romantis, peralatan pendakian juga tiba-tiba menumpuk di teras rumah. Padahal jauh hari sebelum itu semua, tidak ada minat sedikit pun mengenal alam. Tapi, sangat berbeda setelah menamatkan buku itu. Sesekali, saya juga mendirikan kemah di depan tv dan melupakan kamar tidur.

Ada juga salah satu buku favorit yang dibeli saat saya masih bekerja di Instansi Pendidikan. Judulnya Sang Alkemis oleh Paulo Coelho. Sungguh memberikan perubahan besar terhadap hidup saya, terutama tentang bagaimana bermimpi atau bercita-cita. Satu lagi, karena keberadaan buku ini, saya tidak sengaja terjun di dunia menulis. Bahkan, saya berhasil memenangkan beberapa lomba menulis fiksi.

Dari kedua buku itu, saya sekarang punya perpustakaan mini di rumah. Saya bisa membaca kapan saja sesuka hati, dan menulis apa pun setiap saat.

Kesimpulannya, kegiatan membaca memberi dampak istimewa kepada hidup saya. Banyak hal, yang orang-orang sebut sebagai plot twist, sering terjadi.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Fransiskus Posenti, pensiunan ASNBaby Boomer, NTT.
Read More
Membaca koran yang ditempel di dinding rumah papan itu, tanpa saya duga kemudian hari, menjadi sebuah memori yang istimewa. Setidaknya, ada dua hal yang tak terlupakan. Pertama, saya membaca dengan posisi setengah memanjat. Ayah saya, yang notabene seorang guru sekolah dasar, menempel lembaran sebuah surat kabar mingguan bernama DIAN di dinding kamar tamu. Entah untuk alasan apa, koran itu sengaja ditempel di dinding kurang lebih satu meter dari permukaan meja. Didorong rasa ingin tahu yang besar, saya memanjat menggunakan kursi kayu untuk membaca tulisan itu.

Saat itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, paruh pertama tahun tujuh puluhan. Belum lancar sekali membaca, tetapi hampir setiap hari saya lakukan ritual itu. Pernah kepergok ayah, lalu saya ditegur. Terutama karena saya memanjat. Yang saya paling ingat, judul tulisan dengan huruf kapital yang jelas didampingi gambar yang waktu itu sangat menarik perhatian saya. Alasan kedua, dan yang membuat saya terpikat adalah karena tulisan itu ternyata dibukukan bertahun-tahun kemudian. Judulnya, tanpa saya sadari, seolah menyimpan kenangan masa kecil yang penuh petualangan: I REMEMBER FLORES.

Sebuah memoar yang mengharukan dari seorang Kapten Angkatan Laut Jepang, TASUKU SATO, ketika bertugas di Flores, sebelum kemerdekaan. Dan buku itu, yang sekarang menjadi salah satu koleksi perpustakaan pribadiku, menjadi salah satu tonggak awal kecintaan saya pada ritual membaca buku, terutama buku biografi. Lewat buku I REMEMBER FLORES, saya tidak hanya bisa mengenang tanah kelahiran setiap saat, tetapi juga mengagumi sosok pahlawan inspiratif. Seorang Ayah, yang menjadi guru dan teladanku.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Puti Indria, ibu rumah tanggaGen Y, Jawa Barat.
Read More
Saat itu akhir masa SMP. Dari usia prasekolah, Ayah memang sering mengajak kita untuk ke Gramedia untuk beli buku apa aja yang kita suka. Nah, masa SMP itu aku lagi tergila-gila sama serial komik Candy-Candy. And I dont know, but I just feel like her (karakter di komik itu). Dia ceria, supel, senang berteman tapi juga selalu punya tempat untuk "menyendiri".

Sendirian di atas dahan pohon atau tiduran di hamparan Bukit Poni yang hijau sambil memandangi langit, itu, ngangeniinn banget. Aku ga bisa lihat pohon dengan dahan yg landai, pasti dipanjat. Duduk berlama-lama sambil baca komiknya, it's really heaven.

Lucunya, aku pernah dipergoki jemaah taklim Ibuku waktu lagi santai di atas pohon besar yang ada di dekat masjid. Bayangkan. Anak perempuan. Rambut pendek dikuncir (saat itu belum dewasa, jadi belum wajib pakai jilbab). Pakai kaus oversized dan celana panjang. Nangkring di pohon dengan santainya. Terbayang, kan, hebohnya seperti apa. Tapi yaa waktu itu tanggapan aku cuma, "Kenapa? Salahkah?"

Kalau tentang tertawa dan menangis gara-gara komik ini, sudah gak terhitung. Setiap kisah Candy dan Annie. Rumah Poni. Anthony. Terry. I feel like I was one of them. Waktu Annie diadopsi. Saat Candy ketemu Anthony untuk pertama kali. Lalu Anthony meninggal karena kecelakaan. Sampai Candy ketemu Terry dan menjadi perawat. Dan seterusnya.

Candy-Candy mengajarkan aku bahwa sesedih atau sebahagia apapun, hidup harus dijalani. Jangan pernah melupakan memori kesedihan jika itu menyangkut orang yang paling kita sayangi. Karena kita akan merasa lelah. Jadikan memori itu sebagai motivasi supaya kita semakin tulus dalam meneruskan hidup.
Salsabila Daniswara, freelanceGen Z, DIY.
Read More
Selama ini, aku enggak pernah menyadari kalau punya cukup privileged dengan yang namanya membaca. Dari kecil, aku sudah diberikan akses yang lebar untuk membaca. Mama ngajarin baca dari sebelum masuk TK, simply karena beliau tahu kalau aku mampu memahami cara baca di umur yang waktu itu teman-teman sepantaranku belum ada yang diajari membaca. Setelah lancar membaca, Bapak juga sering ngajak ke perpustakaan kota untuk pinjam buku-buku cerita anak.

Kebiasaan membaca ini berlanjut sampai SD. Aku pun masih sering pinjam buku di perpustakaan kota juga tapi karena tempatnya pindah terus, aku jadi suka pinjam punya temen. Saat SMP-SMA juga sama. Aku tetap pinjam di perpustakaan sekolah atau punya teman. Sampai akhirnya kuliah, hobi baca ini harus pause dulu karena nggak ada waktu luang buat baca novel. Sebenarnya ada sih, tapi lebih baik dipakai buat tidur. hahaha. Aku masih sempat baca 1 atau 2 novel yang nggak tebal-tebal amat.

Tahun lalu, aku memutuskan untuk membeli device e-reader untuk menunjang hobi membacaku. Awalnya takut kalau nggak terpakai, tapi setelah coba 1 buku malah jadi keterusan sampai ikutan challenge di aplikasi baca.

Buatku membaca itu semacam escape dari rutinitas yang membosankan. Karena bacaanku kebanyakan novel fiksi, jadi aku merasa berada di dunia lain kalau lagi membaca. Kadang bisa jadi pemeran utama, kadang cuma diajak menonton bagaimana karakter-karakter di buku memecahkan masalahnya. Kadang juga diajak menentukan apa maunya penulis.

Membaca membukakan akses kepadaku untuk jadi siapa saja tanpa perlu memikirkan latar belakangku di dunia nyata dan semua buku bacaan itu menerima aku apa adanya.
Previous
Next
Puti Indria, ibu rumah tanggaGen Y, Jawa Barat.
Read More
Saat itu akhir masa SMP. Dari usia prasekolah, Ayah memang sering mengajak kita untuk ke Gramedia untuk beli buku apa aja yang kita suka. Nah, masa SMP itu aku lagi tergila-gila sama serial komik Candy-Candy. And I dont know, but I just feel like her (karakter di komik itu). Dia ceria, supel, senang berteman tapi juga selalu punya tempat untuk "menyendiri".

Sendirian di atas dahan pohon atau tiduran di hamparan Bukit Poni yang hijau sambil memandangi langit, itu, ngangeniinn banget. Aku ga bisa lihat pohon dengan dahan yg landai, pasti dipanjat. Duduk berlama-lama sambil baca komiknya, it's really heaven.

Lucunya, aku pernah dipergoki jemaah taklim Ibuku waktu lagi santai di atas pohon besar yang ada di dekat masjid. Bayangkan. Anak perempuan. Rambut pendek dikuncir (saat itu belum dewasa, jadi belum wajib pakai jilbab). Pakai kaus oversized dan celana panjang. Nangkring di pohon dengan santainya. Terbayang, kan, hebohnya seperti apa. Tapi yaa waktu itu tanggapan aku cuma, "Kenapa? Salahkah?"

Kalau tentang tertawa dan menangis gara-gara komik ini, sudah gak terhitung. Setiap kisah Candy dan Annie. Rumah Poni. Anthony. Terry. I feel like I was one of them. Waktu Annie diadopsi. Saat Candy ketemu Anthony untuk pertama kali. Lalu Anthony meninggal karena kecelakaan. Sampai Candy ketemu Terry dan menjadi perawat. Dan seterusnya.

Candy-Candy mengajarkan aku bahwa sesedih atau sebahagia apapun, hidup harus dijalani. Jangan pernah melupakan memori kesedihan jika itu menyangkut orang yang paling kita sayangi. Karena kita akan merasa lelah. Jadikan memori itu sebagai motivasi supaya kita semakin tulus dalam meneruskan hidup.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Salsabila Daniswara, freelanceGen Z, DIY.
Read More
Selama ini, aku enggak pernah menyadari kalau punya cukup privileged dengan yang namanya membaca. Dari kecil, aku sudah diberikan akses yang lebar untuk membaca. Mama ngajarin baca dari sebelum masuk TK, simply karena beliau tahu kalau aku mampu memahami cara baca di umur yang waktu itu teman-teman sepantaranku belum ada yang diajari membaca. Setelah lancar membaca, Bapak juga sering ngajak ke perpustakaan kota untuk pinjam buku-buku cerita anak.

Kebiasaan membaca ini berlanjut sampai SD. Aku pun masih sering pinjam buku di perpustakaan kota juga tapi karena tempatnya pindah terus, aku jadi suka pinjam punya temen. Saat SMP-SMA juga sama. Aku tetap pinjam di perpustakaan sekolah atau punya teman. Sampai akhirnya kuliah, hobi baca ini harus pause dulu karena nggak ada waktu luang buat baca novel. Sebenarnya ada sih, tapi lebih baik dipakai buat tidur. hahaha. Aku masih sempat baca 1 atau 2 novel yang nggak tebal-tebal amat.

Tahun lalu, aku memutuskan untuk membeli device e-reader untuk menunjang hobi membacaku. Awalnya takut kalau nggak terpakai, tapi setelah coba 1 buku malah jadi keterusan sampai ikutan challenge di aplikasi baca.

Buatku membaca itu semacam escape dari rutinitas yang membosankan. Karena bacaanku kebanyakan novel fiksi, jadi aku merasa berada di dunia lain kalau lagi membaca. Kadang bisa jadi pemeran utama, kadang cuma diajak menonton bagaimana karakter-karakter di buku memecahkan masalahnya. Kadang juga diajak menentukan apa maunya penulis.

Membaca membukakan akses kepadaku untuk jadi siapa saja tanpa perlu memikirkan latar belakangku di dunia nyata dan semua buku bacaan itu menerima aku apa adanya.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Dwi Damayanti, ibu rumah tanggaGen Y, Jakarta.
Read More
Bagi Ibu rumah tangga, membaca buku fisik sungguh menantang, apalagi sudah memiliki anak-anak yang masih berusia dini (ketiga anakku berusia dini dengan jarak kurang dari 2 tahun).

Jadi, ada saja kejadian saat membaca, ada kalanya bukuku direbut hingga robek karena bayiku yang berusia 8 bulan penasaran ingin ikut melihat dan menggenggam buku. Di lain waktu ketika membacakan buku untuk kedua anakku yg berusia 3 dan 5 tahun, mereka berebut ingin memegang buku sendiri hingga bukunya terlepas dari jilid/sampulnya.

Buku-buku itu kuperbaiki, pakai lem, sealtape, double tape, hingga lakban besar berkali-kali. Tapi, hal itu tidak membuatku kapok membelikan dan membacakan buku untuk mereka. Aku juga tetap membaca buku di depan mereka.

Karena kegiatan membaca buku di depan mereka, juga membacakan buku untuk mereka membuahkan hasil yang manis dan baik. Kini mereka semakin senang beraktivitas, bonding bersama dengan buku-bukunya.

Dari mulai read a loud/membaca nyaring--YA, kini mereka sudah mampu membacakan cerita bergambar untuk adik terkecilnya kala bundanya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah--ataupun membuat kreasi kriya/prakarya dari buku yang mereka baca, atau juga sekedar menggambar karakter bukunya dengan gaya mereka sendiri.

Membaca buku sebelum tidur pun menjadi sebuah habit keluarga kami tiap malam. Satu sampai tiga buku cerita siap menemani kami menuju alam mimpi yang indah.
Fira, graphic designerGen Z, Jawa Barat.
Read More
"Ngaku deh, kamu pernah enggak, males nolongin saudaramu sendiri?" 😂 Hehehe, aku pernah. Waktu itu, aku mau pergi ke tukang fotokopi. Eh, adikku minta tolong dibeliin keripik.

“Males banget, harus jalan dikit lagi, harus nyebrangin jalan yang ramai, terus markirin motor lagi …,” pikirku dalam hati. Selesai dari tukang fotokopi, tiba-tiba aku teringat buku kumcer Sopir Bus yang Ingin Menjadi Tuhan dari Etgar Keret. Buku itu melintas di pikiranku sambil bertanya,“Kalau jadi tuhan, kamu mau jadi Tuhan yang seperti apa?”

Cerpen itu bercerita tentang supir bus yang berandai-andai, kalau jadi Tuhan, ia akan jadi Tuhan yang penolong. Aku juga mau jadi Tuhan yang penolong, jawabku dalam hati. Kalau mau jadi penolong, masa nolongin adikmu males?

Kurasa, itulah kekuatan fiksi. Fiksi tidak hanya menghibur, tetapi juga bisa mendorong refleksi diri. Fiksi membuat kita merasa seolah-olah menjadi karakter dalam cerita itu, merasakan apa yang mereka rasakan, dan berpikir seperti mereka pikirkan. Ini dapat mengubah cara kita melihat dunia dan mempengaruhi tindakan kita.

Fiksi bisa menyentuh dan menggerakkan hati seseorang. “Nilai-nilai hidup/pesan moral” kalau disampaikan lewat ceramah/nasehat biasa (tanpa cerita), kurasa efeknya enggak sengena itu. Gara-gara ingat buku itu, aku pun menuruti permintaan adikku."
Previous
Next
Dwi Damayanti, ibu rumah tanggaGen Y, Jakarta.
Read More
Bagi Ibu rumah tangga, membaca buku fisik sungguh menantang, apalagi sudah memiliki anak-anak yang masih berusia dini (ketiga anakku berusia dini dengan jarak kurang dari 2 tahun).

Jadi, ada saja kejadian saat membaca, ada kalanya bukuku direbut hingga robek karena bayiku yang berusia 8 bulan penasaran ingin ikut melihat dan menggenggam buku. Di lain waktu ketika membacakan buku untuk kedua anakku yg berusia 3 dan 5 tahun, mereka berebut ingin memegang buku sendiri hingga bukunya terlepas dari jilid/sampulnya.

Buku-buku itu kuperbaiki, pakai lem, sealtape, double tape, hingga lakban besar berkali-kali. Tapi, hal itu tidak membuatku kapok membelikan dan membacakan buku untuk mereka. Aku juga tetap membaca buku di depan mereka.

Karena kegiatan membaca buku di depan mereka, juga membacakan buku untuk mereka membuahkan hasil yang manis dan baik. Kini mereka semakin senang beraktivitas, bonding bersama dengan buku-bukunya.

Dari mulai read a loud/membaca nyaring--YA, kini mereka sudah mampu membacakan cerita bergambar untuk adik terkecilnya kala bundanya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah--ataupun membuat kreasi kriya/prakarya dari buku yang mereka baca, atau juga sekedar menggambar karakter bukunya dengan gaya mereka sendiri.

Membaca buku sebelum tidur pun menjadi sebuah habit keluarga kami tiap malam. Satu sampai tiga buku cerita siap menemani kami menuju alam mimpi yang indah.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Fira, graphic designerGen Z, Jawa Barat.
Read More
"Ngaku deh, kamu pernah enggak, males nolongin saudaramu sendiri?" 😂 Hehehe, aku pernah. Waktu itu, aku mau pergi ke tukang fotokopi. Eh, adikku minta tolong dibeliin keripik.

“Males banget, harus jalan dikit lagi, harus nyebrangin jalan yang ramai, terus markirin motor lagi …,” pikirku dalam hati. Selesai dari tukang fotokopi, tiba-tiba aku teringat buku kumcer Sopir Bus yang Ingin Menjadi Tuhan dari Etgar Keret. Buku itu melintas di pikiranku sambil bertanya,“Kalau jadi tuhan, kamu mau jadi Tuhan yang seperti apa?”

Cerpen itu bercerita tentang supir bus yang berandai-andai, kalau jadi Tuhan, ia akan jadi Tuhan yang penolong. Aku juga mau jadi Tuhan yang penolong, jawabku dalam hati. Kalau mau jadi penolong, masa nolongin adikmu males?

Kurasa, itulah kekuatan fiksi. Fiksi tidak hanya menghibur, tetapi juga bisa mendorong refleksi diri. Fiksi membuat kita merasa seolah-olah menjadi karakter dalam cerita itu, merasakan apa yang mereka rasakan, dan berpikir seperti mereka pikirkan. Ini dapat mengubah cara kita melihat dunia dan mempengaruhi tindakan kita.

Fiksi bisa menyentuh dan menggerakkan hati seseorang. “Nilai-nilai hidup/pesan moral” kalau disampaikan lewat ceramah/nasehat biasa (tanpa cerita), kurasa efeknya enggak sengena itu. Gara-gara ingat buku itu, aku pun menuruti permintaan adikku."













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Noor Annisa Falachul Firdausi, karyawan swastaGen Z, DIY.
Read More
Dulu, guru saya pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Saya pun mengamini ucapan beliau. Buku membuat wawasan saya terbuka luas. Tapi, semenjak dewasa dan menjadikan kegiatan membaca buku sebagai hobi, buku pun punya peran baru, yaitu sebagai hiburan dan penjalin relasi.

Tak hanya sekali-dua kali saya asyik membaca buku sampai lupa sudah berapa lama waktu yang saya habiskan. Lembar demi lembar yang saya baca ikut membunuh waktu. Bahkan buku nonfiksi sekalipun.

Saya gemar membaca buku sejarah dan pengembangan diri. Supaya pengetahuan yang baru saya dapat dari buku tetap melekat, saya buat ulasan di media sosial dan aplikasi Bookmory. Jadi, selain menghibur diri, membaca buku turut membuat saya aktif berlatih menulis.

Ada satu pengalaman unik yang baru saya alami terkait dengan asyiknya membaca buku. Saya memiliki kenalan seorang peneliti sosial yang sering turun ke lapangan untuk mengadvokasi masyarakat. Sebelumnya saya belum tahu bahwa beliau memiliki minat besar terhadap gender dan perempuan.

Pada pertemuan perdana saya setelah dua tahun tidak berjumpa, saya membagikan kesan yang saya dapat dari buku "Sisi Gelap Perang Asia" karya Aiko Kurosawa yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, khususnya bagian di mana perempuan-perempuan yang memiliki sangkut paut dengan Jepang harus menderita secara fisik dan psikis pasca-kekalahan Jepang di perang Asia. Berkat sharing tersebut, kenalan saya pun mengajak berkolaborasi untuk menjadi kontributor dalam gerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukannya. Saat ini saya menjadi salah satu penulis konten di gerakan tersebut. Tentu saja, tanpa prinsip bahwa membaca itu asyik, saya tak mungkin bisa mendapatkan kesempatan relasi seperti ini.
Irfan Hamonangan Tarihoran, dosenGen X, NTB.
Read More
Pertama kali saya suka membaca itu, saat dibelikan majalah Bobo oleh orang tua. Majalah itu jadi yang pertama dan terakhir kalinya karena orang tua saya tidak punya punya uang untuk berlangganan setiap bulan. karakter kuat Bona dan Rongrong dalam cerita membuat saya penasaran. Lama-kelamaan, muncul rasa ketagihan untuk membaca dalam gelimang penasaran.

Lucunya, rasa penasaran itu tak hilang. Saya sering menemani ibu belanja ke pasar. Kalau beli cabai dan bawang, pasti dibungkus lembaran koran yang disobek. Sobekan-sobekan itu jadi bacaan saya. Macam-macam isinya, tapi terpotong pesan beritanya. Rasa penasaran semakin menjadi. Namun kebiasaan membuka bungkus cabai itu tidak pernah hilang sampai sekarang. Ada perasaan puas ketika membaca sobekan dari si penjual, seakan ada pesan misterius dari penjual yang ingin dipecahkan.

Beranjak SMA, perpustakaan cukup lengkap dengan buku-buku beraneka genre. Bacaan benar-benar lengkap untuk dibaca, bukan lagi dari potongan koran. Adalah kisah spionase internasional. Saya lupa judulnya tapi ingat kisahnya. Bagaimana seorang pilot Uni Soviet membelot dan menjual pesawatnya kepada Amerika. Sampai tiga kali saya ulang membaca karena seru kisahnya.

Lalu entah kenapa setiap saya membaca, muncul dorongan untuk menggambar kartun (masih jelek pada waktu itu). Melalui gambar, isi bacaan semakin mudah diingat dan bisa menceritakan kembali. Saat bekerja dan kuliah di Jakarta, minat baca didukung penuh oleh fasilitas dan infrastruktur lengkap. Toko buku, perpustakaan besar bahkan lapak buku bekas menjamur. Tiada hari tanpa membeli buku. Apalagi buku-buku diskon selalu menjadi prioritas karena kantong terbatas. Buku-buku bagus kan, mahal. Kebiasaan membaca sepotong-sepotong seperti membaca bungkusan cabai pun datang lagi. Main ke Gramedia gayanya seperti beli buku, padahal bukan (hehe..). Tiap pekan baca per bab buku yang disukai namun tak bisa beli. Hanya buku diskon dan bekas saja yang dibawa pulang. Kamar kos saya pun jadi penuh dengan buku.

Namun beribu sayang, kompleks kosan saya waktu itu kebakaran. Buku yang sudah tersimpan, ludes. Saya pasrah dengan apa yang sudah terjadi. Untungnya sudah dibaca, buku-buku itu hanya berpindah lokasi saja ke kepala. Kejadian itu bikin saya bernostalgia dengan penjual cabai dulu. Saya penasaran, apakah penjualnya juga membaca koran sobekan sebelum membungkus jualannya. Namun sudah tak ada lagi koran pembungkus saat beli cabai. Semua tinggal kenangan. Yang bisa saya ucapkan sekarang hanya, "Terima kasih koran."
Previous
Next
Noor Annisa Falachul Firdausi, karyawan swastaGen Z, DIY.
Read More
Dulu, guru saya pernah mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Saya pun mengamini ucapan beliau. Buku membuat wawasan saya terbuka luas. Tapi, semenjak dewasa dan menjadikan kegiatan membaca buku sebagai hobi, buku pun punya peran baru, yaitu sebagai hiburan dan penjalin relasi.

Tak hanya sekali-dua kali saya asyik membaca buku sampai lupa sudah berapa lama waktu yang saya habiskan. Lembar demi lembar yang saya baca ikut membunuh waktu. Bahkan buku nonfiksi sekalipun.

Saya gemar membaca buku sejarah dan pengembangan diri. Supaya pengetahuan yang baru saya dapat dari buku tetap melekat, saya buat ulasan di media sosial dan aplikasi Bookmory. Jadi, selain menghibur diri, membaca buku turut membuat saya aktif berlatih menulis.

Ada satu pengalaman unik yang baru saya alami terkait dengan asyiknya membaca buku. Saya memiliki kenalan seorang peneliti sosial yang sering turun ke lapangan untuk mengadvokasi masyarakat. Sebelumnya saya belum tahu bahwa beliau memiliki minat besar terhadap gender dan perempuan.

Pada pertemuan perdana saya setelah dua tahun tidak berjumpa, saya membagikan kesan yang saya dapat dari buku "Sisi Gelap Perang Asia" karya Aiko Kurosawa yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, khususnya bagian di mana perempuan-perempuan yang memiliki sangkut paut dengan Jepang harus menderita secara fisik dan psikis pasca-kekalahan Jepang di perang Asia. Berkat sharing tersebut, kenalan saya pun mengajak berkolaborasi untuk menjadi kontributor dalam gerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukannya. Saat ini saya menjadi salah satu penulis konten di gerakan tersebut. Tentu saja, tanpa prinsip bahwa membaca itu asyik, saya tak mungkin bisa mendapatkan kesempatan relasi seperti ini.













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas
Irfan Hamonangan Tarihoran, dosenGen X, NTB.
Read More
Pertama kali saya suka membaca itu, saat dibelikan majalah Bobo oleh orang tua. Majalah itu jadi yang pertama dan terakhir kalinya karena orang tua saya tidak punya punya uang untuk berlangganan setiap bulan. karakter kuat Bona dan Rongrong dalam cerita membuat saya penasaran. Lama-kelamaan, muncul rasa ketagihan untuk membaca dalam gelimang penasaran.

Lucunya, rasa penasaran itu tak hilang. Saya sering menemani ibu belanja ke pasar. Kalau beli cabai dan bawang, pasti dibungkus lembaran koran yang disobek. Sobekan-sobekan itu jadi bacaan saya. Macam-macam isinya, tapi terpotong pesan beritanya. Rasa penasaran semakin menjadi. Namun kebiasaan membuka bungkus cabai itu tidak pernah hilang sampai sekarang. Ada perasaan puas ketika membaca sobekan dari si penjual, seakan ada pesan misterius dari penjual yang ingin dipecahkan.

Beranjak SMA, perpustakaan cukup lengkap dengan buku-buku beraneka genre. Bacaan benar-benar lengkap untuk dibaca, bukan lagi dari potongan koran. Adalah kisah spionase internasional. Saya lupa judulnya tapi ingat kisahnya. Bagaimana seorang pilot Uni Soviet membelot dan menjual pesawatnya kepada Amerika. Sampai tiga kali saya ulang membaca karena seru kisahnya.

Lalu entah kenapa setiap saya membaca, muncul dorongan untuk menggambar kartun (masih jelek pada waktu itu). Melalui gambar, isi bacaan semakin mudah diingat dan bisa menceritakan kembali. Saat bekerja dan kuliah di Jakarta, minat baca didukung penuh oleh fasilitas dan infrastruktur lengkap. Toko buku, perpustakaan besar bahkan lapak buku bekas menjamur. Tiada hari tanpa membeli buku. Apalagi buku-buku diskon selalu menjadi prioritas karena kantong terbatas. Buku-buku bagus kan, mahal. Kebiasaan membaca sepotong-sepotong seperti membaca bungkusan cabai pun datang lagi. Main ke Gramedia gayanya seperti beli buku, padahal bukan (hehe..). Tiap pekan baca per bab buku yang disukai namun tak bisa beli. Hanya buku diskon dan bekas saja yang dibawa pulang. Kamar kos saya pun jadi penuh dengan buku.

Namun beribu sayang, kompleks kosan saya waktu itu kebakaran. Buku yang sudah tersimpan, ludes. Saya pasrah dengan apa yang sudah terjadi. Untungnya sudah dibaca, buku-buku itu hanya berpindah lokasi saja ke kepala. Kejadian itu bikin saya bernostalgia dengan penjual cabai dulu. Saya penasaran, apakah penjualnya juga membaca koran sobekan sebelum membungkus jualannya. Namun sudah tak ada lagi koran pembungkus saat beli cabai. Semua tinggal kenangan. Yang bisa saya ucapkan sekarang hanya, "Terima kasih koran."













Jadi terinspirasi untuk baca buku? Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas

Jadi terinspirasi untuk baca buku?
Yuk, cek koleksi buku dari Penerbit Buku Kompas